Tag Archives: kesenian suku tengger

kearifan budaya lokal suku tengger, kuda lumping

19 Nov

Ada suatu permainan, Permainan unik sekali

Orang naik kuda, tapi kuda bohong

Namanya kuda lumping

Anehnya permainan ini

Orangnya bisa lupa diri

Dia makan rumput, juga makan kaca

Aduhai ngeri sekali….Itu kuda lumping,

kuda lumping…. Kuda lumping,

kesurupan Itu kuda lumping,

kuda lumping….Kuda lumping, loncat-loncatan

Beberapa baris di atas adalah lirik sebuah lagu yang dinyanyikan Elvi Sukaesih. Dan setelah saya perhatikan bait demi bait lirik baru saya sadari juga disitu tertulis kata-kata, “orangnya bisa lupa diri” , “makan rumput..makan kaca” , dan “ngeri  sekali…kesurupan”. Tepat sekali kata-kata yang tertulis di lirik lagu kuda lumping ini benar seperti yang saya lihat sendiri. Dulu saya sering menyenandungkan lagu ini hanya di bait reff, “kuda lumping….kuda lumping eee kuda lumping…”. Dan saya tidak tau terusan bait pada lagu ini he he he he… hanya sering mendengar sekilas saja. Setelah saya melihat sendiri kesenian kuda lumping saya jadi gatal untuk segera menuliskan pengalaman langsung saya melihat kesenian tradisional ini.

Berawal dari kebingungan saya dan teman-teman yang akan mendaki gunung semeru. Kami memang tidak merencanakan naik ke puncak mahameru atau istilah di kalangan pendaki “muncak”. Karena hanya memiliki waktu 2 hari saja, kami memutuskan untuk trekking Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), bagian semeru dan menuju Ranu Kumbolo. Tentu saja semua orang sekarang sangat mengenal Ranu Kumbolo yang cantik, yang berdiri dengan setia di gunung semeru. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Ranu Kumbolo dari pos pendakian Ranu Pani adalah sekitar 5-6 jam berjalan kaki. Awalnya kami berencana memanggul sendiri keril (carrier/ransel)  , tetapi menghadapi perjalanan trekking berjalan kaki kurang lebih 3 km menuju Ranu Pani rasanya , saya dan seorang teman tidak kuat. Teman yang sering mendaki semeru sempat bercerita bahwa ada porter yang bisa kita mintai tolong untuk membawa keril. Akhirnya kami  memutuskan menggunakan jasa porter untuk membawa satu keril, keril yang satu akan dipakai bergantian dan dua teman lainnya yang sering mendaki sudah terbiasa membawa keril sendiri. Ya. tim mendaki semeru kami berjumlah 4 orang.

Sesampai di Ranu Pani kami sulit untuk menemukan  porter, selidik punya selidik ternyata banyak porter ikut berpartisipasi kegiatan di desa Ranu Pani untuk jaranan. Saya awalnya bingung, jaranan itu apa? karena saya bukan orang jawa, saya tau sih jaran itu kuda. Saya pikir, Semeru dan Bromo kan emang deketan. Di Bromo banyak kuda untuk mendaki. Mungkin maksudnya lomba pacuan kuda gitu atau balap kuda. Akhirnya setelah cari mencari didapatlah seorang porter, tapiiiii karena sepi porter, kami dapat harga mahal. hiks… ya sudahlah tidak apa-apa. Mau gimana lagi.

Pendakian menuju Ranu kumbolo kami tempuh dalam waktu 6 jam itu udah plus-plus istirahat bolak balik dan berlindung dari deraan hujan di salah satu pos pendakian. Begitu juga ketika kami kembali pulang dari Ranu Kumbolo menuju pos lapor pendakian TNBTS di Ranu Pani, kami tempuh dalam waktu 5 jam itu udah plus-plus istirahat dan lagi-lagi istirahat dari deraan hujan deras di salah satu pos pendakian. Nah, cerita mengenai Kuda lumping kita mulai dari sini.

Berawal dari sore menjelang malam kami tiba kembali di desa Ranu Pani, desa cantik ini merupakan salah satu pintu masuk pendakian gunung semeru dan gerbang masuk Taman Nasional  Bromo Tengger Semeru. Setelah melaporkan kedatangan kami kembali tiba dengan selamat dari aktivitas menjenguk Ranu Kumbolo yang cantik, saya dan teman-teman menuju salah seorang rumah warga desa bernama Pak Poyo. Beliau adalah salah satu teman dari temannya saya yang sudah dianggap keluarga sendiri. Yang sangat saya herankan meskipun saya orang asing dan baru pertama kali bertemu tetapi sambutan pak poyo dan keluarga sangat welcome dan hangat. Bayangin aja di meja ruang tamu telah tersedia macam-macam kue kering dan panganan ringan seperti pisang goreng, agar-agar dan kue lainnya. Minuman ringan pun disediakan dan berikut minuman istimewa berupa jahe kopi hangat. Rasanya? lezzatoooo.. saya yang benci jahe saja jadi suka. Setelah saya menikmati hidangan tuan rumah yang sangat baik, mulai lah bercakap-cakap ringan sampai obrolan menyambung dengan kegiatan desa berupa jaranan. Dannnnn saya pun tertawa karena jaranan yang saya bayangkan dan kenyataan adalah dua hal yang berbeda. Ha ha ha ha haa…. jadi jaranan yang dimaksud warga adalah kesenian kuda lumping. Yaelahhh.. saya mah suka menafsirkan sendiri.. *pukpuk*.

Cerita punya cerita, ternyata saya sangat beruntung. Jauh-jauh ke desa ini mendapat kesempatan untuk menyaksikan salah satu kesenian yang terus dilestarikan masyarakat suku tengger di kaki gunung ini. Pak Poyo bercerita, “sering mbak kita ngadain seperti ini, apalagi kalo ada salah satu warga yang mau nanggap”. Maksud Pak Poyo dengan “nanggap” adalah  acara yang diadakan warga, misal pernikahan, sunat dan lain-lain. Sebenarnya kesenian yang dilestarikan tidak hanya kuda lumping saja. Ada juga tarian lain yang ditarikan anak-anak perempuan. Saya lupa namanya apa.. dan tidak semua anak perempuan diberikan bakat menari di desa ini. Dan beruntungnya lagi anak Pak Poyo yang perempuan adalah salah satu yang punya bakat menari itu. Sering dipanggil untuk mempertunjukan kesenian disini atas permintaan warga maupun turis/bule yang berkunjung ke kaki Semeru. Saya berkunjung ke desa ini pada tanggal 3 november 2013 dan bertepatan dengan adanya tanggapan dari seluruh warga desa berupa tari kuda lumping.

Setelah mengetahui tentang adanya pertunjukan kuda lumping saya memohon ijin pak poyo untuk dapat membawa saya melihat pertunjukan ini. Ehmm..uhuk uhuk.. sebenarnya agak memaksa, maap ya pak. he he he he… soalnya saya pikir pas banget moment nya, belum tentu ketika saya kesini lagi ada tarian kuda lumping ini. Akhirnya ketika pak poyo bersedia mengantar saya, saya pun meminta ijin teman-teman saya untuk melihat kuda lumping ini. Teman-teman saya pun sangat baik, mereka akhirnya menunggu saya sambil menghangatkan diri di dapur pak poyo. Loh kok di dapur? iya, soalnya dapurnya pak poyo masih menggunakan tungku kayu bakar. Lumayan hangat di dapur dengan kondisi suhu diluar yang sangat dingin, pastinya dapur adalah pilihan tepat. Saya pun bergegas menyiapkan diri untuk pergi, menggunakan segala perlengkapan perang berupa, jaket, sarung tangan, penutup kepala dan kaos kaki. Brrrrrrr…… dinginnya ampunnn. Pak Poyo dengan cekatan mengendarai motornya dengan kecepatan super dan membuat saya sedikit ketakutan. Gimana ga takut, dengan penerangan jalan desa yang nyaris tidak ada, jalan rusak berlubang dan menanjak, serta kiri kanan lumayan daerah yang kalo jatuh disitu lumayan dalam lah karena kita terus jalan keatas. Hiiii…… di tengah kegelapan saya berharap tidak melihat sesuatu yang tidak ingin saya lihat.

foto milik pribada ekka irianto

Kuda Lumping yang digelar pada malam hari

Dung…dung…dung….

Dari jauh telah terdengar musik gemuruh, suara ketipung, atau apa gitu saya juga tidak begitu mengenal nama-nama beberapa alat musik pukul tersebut menimbulkan suara gemuruh dan mistik kalau saya bilang. Itu adalah musik pengantar tarian kuda lumping. Kami hampir sampai, sebelumnya di atas motor saya bertanya pada pak poyo apa saya bisa mengambil gambar. dan sialnya saya hanya membawa hp yang harus menggunakan blitz di gelap nya malam. Pada akhirnya saya tidak dapat mengambil gambar bagus karena takut. Baiklah akan saya ceritakan.

Pak Poyo bergegas memarkir kendaraan yang kami gunakan. Ternyata warga sudah ramai. Saya agak sungkan juga berada di antara kerumuman warga. Saya mencoba mencari-cari teman yang mirip-mirip saya. Maksudnya adalah pendaki/pengunjung desa/orang asing pokoke yang bukan warga sini deh. Dannnn setelah saya berusaha mencari di kerumuman orang saya tidak menemukan ciri-ciri tersebut. Ehhh… saya bukan sok tahu loh ya, tapi kan perawakan dan kostum warga desa Ranu Pani sangat kentara. Dan saya sangat berbeda… hu..huu..huuu bukan ke GR an tapi emang bener saya jadi diliatin. Disini saya mulai deg-deg an.. mana pak poyo sangat berbaik hati memberi saya jalan untuk terus maju ke depan , menyibak kerumuman orang yang sedang memperhatikan pusat acara yaitu sebuah tanah lapang, di belakang nya terdapat panggung besar. Saya tidak tahu apa fungsi panggung tersebut karena para pemain musik dan penari kuda lumping berada di tanah, di lapangan depan panggung tersebut. Saya pun lupa menanyakan karena terlanjur dag-dig-dug terus . Kenapa saya dag-dig-dug jujur saya takut kerurupan he he he he… saya  juga takut dinaikan ke atas kepala-kepala-an binatang seperti sapi/banteng/kerbau saya tidak jelas muka apa itu. Bayangin saja, ketika berjalan dari parkiran motor menuju merumuman orang, disitu ada genangan air bekas hujan berupa becek ada airnya, dan tiba-tiba aja sekelompok penari berlari ke arah genangan air tersebut dan salah satunya mengguling-gulingkan badannya disitu seperti hewan yang membutuhkan air-tanah-genangan. Kemudian dia berlari lagi menuju pusat lapangan. Wah… ini kesurupan, saya pun bertanya kepada pak poyo saat itu, “Pak itu beneran kesurupan ya?”. Pak poyo pun menjawab, “iya beneran.mbak. Itu ada dukun nya” . Wahhh…semoga jin nya ga masuk ke tubuh saya. Serem juga nih. Disela-sela musik bertalu-talu , hidung saya pun menyium bau kemenyan….hmmm…. Saya diajak Pak poyo kedepan untuk mengambil gambar. Tapi saya takut blitz saya mengundang perhatian jinnya ntar saya ditarik lagi ke tengah lapangan waduh..bisa berabe nih. Soalnya ketika kita sedang didepan, ada seseorang lelaki yang merupakan bagian dari kuda lumping, tapi dia tidak memakai kuda-kudaan, muka nya putih seperti  memakai bedak putih tebal. Wajahnya sumringah cengar-cengir aneh , tertawa-tawa dan ada rokok di mulutnya…berkeliling mendekati tiap-tiap penonton. Dia sempat menghampiri pak poyo seperti hampir menarik pak poyo untuk dinaikin ke kepala binatang-binatangan. dannn dia sempet melihat saya, cengar-cengir seperti mau mengajak saya… huaaaaa saya langsung mundur-mundur terus ke belakang. Setelah tidak mendapatkan pak poyo dan saya. Dia menarik seorang pria, dan seperti meminta salam tempel uang/ sawiran dalam bahasa jawanya. Setelah itu pria ini dinaikan ke atas kepala binatang-binatangan dan diarak ke keliling lapangan. Hebatnya dan tidak masuk akal lagi. Seorang diri penari menggunakan kepala binatang-binatangan menaruh di kepala seorang penari itu dan menggendong atau mendudukan pria itu dikepalanya. Maksud saya sedikit tidak masuk akal dengan keberatan beban yang diderita seorang penari kurus tersebut. wah..wah… wah… magis mulai memainkan peran. Belum lagi penari yang kesurupan , menguling-gulingkan badannya di genangan air dan ritual makan api, makan pecahan gelas kaca dan piring. Wah..wah….. awesome saya bisa menyaksikan salah satu budaya yang terus dipertahankan suku tengger ini. Tak lama kemudian saya mengajak pak poyo untuk kembali ke rumahnya. Serem juga lama-lama disini, ntar saya gak pulang-pulang lagi. soalnya kami akan mengejar truk sayur-angkot dan bis karena malam ini juga harus kembali ke surabaya.

Salah satu atraksi

Salah satu atraksi ()

foto disadur dari : http://foto.news.viva.co.id/read/4871-perayaan-hari-raya-karo-suku-tengger/66091

Sepanjang perjalanan pulang diatas motor, saya dan pak poyo banyak mengobrol tentang masyarakat desa ini. Dan dia juga sempat bercerita mungkin tahun depan akan ada acara nya sendiri dan memanggil kesenian tarian. Sempat terucap juga biaya yang bisa dihabiskan dalam satu acara adalah 50 juta. Wow.. angka yang wah juga.. Tetapi sungguh saya sangat salut dengan partisipasi seluruh masyarakat desa Ranu Pani untuk tetap melestarikan kesenian tradisional. Bahkan mereka sampai tidak bekerja untuk bantu-membantu partisipasi dalam kegiatan desanya. Saya bersyukur bisa meyaksikan kesenian kuda lumping di desa Ranu Pani, sungguh rezeki saya sambil naik gunung sambil jiga ikut melebur dan menyaksikan kearifan budaya lokal penduduk desa. Hmmm.. suatu hari nanti saya pasti kembali lagi kesini.